Sutan Syahrir: Lika Liku Perjalanan Hidup Seorang Bapak Bangsa

1 month ago 9

Image Anindhito Gading Rasunajati

Sejarah | 2024-11-05 12:58:12

Sutan Syahrir. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Sutan Syahrir merupakan tokoh yang memiliki pamor sebagai seorang negarawan. Namun, meskipun Syahrir memiliki peran yang penting menjelang kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, tetapi Syahrir justru menghabiskan akhir hayatnya dengan status tahanan. Artikel ini akan membahas secara kilas balik perjalanan hidup Sutan Syahrir hingga detik – detik terakhirnya, mulai dari penangkapan, sakit – sakitan, hingga meninggal dunia dalam keterasingan.

Masa Awal

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 5 Maret 1909, dari pasangan Mohammad Rasad yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Ayahnya merupakan seorang kepala jaksa di Pengadilan Negeri (Landraad) Medan dan sewaktu Syahrir berusia empat tahun, ayahnya diangkat menjadi penasehat Sultan Deli, sehingga masa kecilnya dihabiskan di Deli, Sumatra Utara.

Masa Pendidikan

Sutan Syahrir memulai pendidikannya dengan bersekolah di Europeesche Lagere School atau ELS (setingkat Sekolah Dasar) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (setingkat Sekolah Menengah Pertama) di Medan, Sumatra Utara.

Semasa sekolah, Syahrir dikenal sebagai anak yang gemar membaca buku dan dia tiap harinya menghabiskan waktunya untuk membaca buku – buku dari berbagai pengarang terkenal, seperti buku karya Don Quixote, Baron Von Münchhausen, hingga Karl Marx. Selain kegemarannya membaca buku, Syahrir juga memiliki hobi bermain biola dan bahkan menampilkan kegemarannya tersebut di muka umum. Lulus pada tahun 1926, Sutan Syahrir melanjutkan jenjang sekolahnya di Algemene Middelbare School atau AMS (setingkat Sekolah Menengah Atas) di Bandung, Jawa Barat. Selama di Bandung, Syahrir aktif dalam kegiatan kelompok seni Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia yang bernama Batovis. Ia juga aktif dalam sebuah perkumpulan yang mendorong gagasan kesatuan nasional Indonesia yang bernama Jong Indonesie.

Peserta Kongres Pemuda II, 27 – 28 Oktober 1928. [Sumber Foto: Lamongankab.go.id]

Selama aktif di Jong Indonesie, Syahrir beserta kawan – kawannya membentuk sebuah sekolah dengan nama Tjahja Volksuniversiteit yang bertujuan untuk memberikan akses pendidikan bagi kalangan bawah. Pada tahun 1928, Sutan Syahrir beserta perwakilannya juga terlibat dalam deklarasi sumpah pemuda 28 Oktober 1928 di Batavia (sekarang Jakarta).

Sutan Syahrir menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1929 dan Syahrir melanjutkan pendidikan tingginya dengan memasuki Fakultas Hukum, Universiteit van Amsterdam. Selama berkuliah di Belanda, ia kenal dengan Mohammad Hatta yang telah terlebih dahulu berkuliah di Economische Hogeschool (sekarang Erasmus Universiteit Rotterdam) dan Syahrir ikut bagian dari organisasi Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Masa Perjuangan

Pada tahun 1931, Sutan Syahrir memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih kembali ke Indonesia dan terjun langsung dalam medan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam prosesnya bersama Mohammad Hatta, Syahrir memberikan dukungan penuh terhadap kelompok nasionalis pro kemerdekaan. Jalan politik yang diambil oleh Syahrir dilatarbelakangi oleh sikap patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat antar sesama manusia.

Sukarno. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Sewaktu pendudukan Jepang pada tahun 1942, Sukarno dan Hatta memilih untuk menjalin kerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir memilih untuk membangun jaringan gerakan bawah tanah anti fasis, dikarenakan Syahrir yakin bahwa Jepang tidak akan memenangkan Perang Dunia II. Jaringan gerakan bawah tanah Syahrir mayoritas diisi oleh kaum – kaum muda PNI Baru yang bersikap progresif.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak Mohammad Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dikarenakan Syahrir telah mendengar kabar lewat radio bahwa pemerintah pendudukan Jepang telah menyerah kepada sekutu akibat dihancurkannya dua kota di Jepang, yaitu Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, lewat bom atom oleh Amerika Serikat. Namun, meskipun awalnya Sukarno dan Hatta menolak desakan Syahrir beserta golongan muda lainnya, tetapi pasca terjadinya peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta akhirnya setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perjalanan Karir

Pasca diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hal tersebut menjadi titik penting sebagai awal perjalanan karir politik seorang Sutan Syahrir. Karirnya bermula dari diterimanya Syahrir sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP pada tanggal 25 Oktober 1945, sekaligus menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP. Selanjutnya pada tanggal 14 November 1945, Syahrir mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai Perdana Menteri pertama di Indonesia sekaligus sebagai salah satu Perdana Menteri termuda di dunia, yaitu diangkat menjadi Perdana Menteri di usia 36 tahun. Selain menjadi Perdana Menteri, Sutan Syahrir juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Awal karirnya tersebut tidak berjalan dengan mulus, pada tanggal 26 Juni 1946 (kemudian dikenal Peristiwa 3 Juli 1946), Sutan Syahrir menjadi korban penculikan yang dilakukan oleh kelompok oposisi yang menamakan dirinya Persatuan Perjuangan dan kelompok tersebut dipimpin oleh Mayor Jenderal Sudarsono. Pasca terjadinya penculikan, Syahrir hanya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan pelaksana tugas Perdana Menteri langsung diambil alih oleh Sukarno. Namun, pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden Sukarno menunjuk kembali Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri.

Delegasi Indonesia di Sidang Dewan Keamanan PBB, Agustus 1947. [Sumber Foto: Kompas.com]
Biju Patnaik. [Sumber Gambar: Wikimedia.org]

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sutan Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di forum Perserikatan Bangsa – Bangsa. Bersama dengan Agus Salim dan atas bantuan pilot berkebangsaan India, yaitu Biju Patnaik, Syahrir berangkat ke New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada tanggal 14 Agustus 1947, bersama dengan Agus Salim, Sudjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambu, Sutan Syahrir tampil di muka sidang Dewan Keamanan PBB dan berpidato di hadapan para wakil bangsa – bangsa sedunia. Syahrir menguraikan bahwa upaya penjajahan kembali Indonesia oleh Belanda merupakan kegiatan eksploitasi yang berunsur kolonialisme.

Menurut beberapa media yang meliput sidang tersebut, salah satunya yaitu New York Herald Tribune menyebut bahwa pidato Sutan Syahrir merupakan salah satu pidato yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan PBB, juga beberapa media lainnya menjuluki Sutan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.

Logo Partai Sosialis Indonesia, tampak Sutan Syahrir Sedang Berpidato. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 12 Februari 1948, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia atau PSI dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia. Meskipun berhaluan kiri dan memiliki ajaran Marx – Engels, Syahrir beranggapan bahwa PSI berlandaskan pada sosialisme kerakyatan yang demokratis serta berpolitik luar negeri yang bebas dan aktif. Pada pemilihan umum pertama di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1955, PSI hanya memperoleh suara sebesar 16% suara, hal ini dikarenakan peran aktif partai yang cenderung sebagai partai pendidikan kader dan bukan sebagai partai massa, sehingga menjadi sebuah kesalahan fatal ketika pemilihan umum 1955.

Pada tanggal 17 Agustus 1960, bersamaan dengan Masyumi, PSI resmi dibubarkan oleh Presiden Sukarno sebagaimana telah tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960. Pembubaran PSI tersebut disebabkan oleh keterlibatan Sumitro Djojohadikusumo yang dianggap mendukung pemberontakan PRRI/PERMESTA, tetapi hal tersebut sebenarnya tidak mewakili partai. Walaupun tidak semua anggota partai terlibat dalam pemberontakan, tetapi keputusan Presiden Sukarno tetap membubarkan PSI.

Penangkapan

Pada akhir tahun 1961, Badan Pusat Intelijen atau BPI menemukan sebuah dokumen yang konon berisikan nama sebuah organisasi yang bernama Verenigde Ondergrondse Corps atau Korps ...

Read Entire Article