Gaji Mandek, Harga Naik, Kredit Seret: Tabungan Kelas Menengah pun Lenyap

1 day ago 3

Jakarta -

Isi tabungan kelas menengah kian menipis. Kondisi ini terlihat dari jumlah nominal simpanan di bawah Rp 100 juta yang terkontraksi sebesar 0,9% per Mei 2025. Tak heran jika semakin banyak orang berhemat dalam mengatur pengeluaran, bahkan untuk urusan makan.

Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, melihat salah satu bentuk penghematan yang paling nyata adalah tidak makan di luar. Kini, semakin banyak orang mengurangi pengeluaran makan dengan cara membawa bekal dari rumah.

Fenomena membawa bekal ini, kata Tauhid, tidak hanya terjadi di kalangan pekerja, tapi juga mahasiswa. Sebab, ia menyaksikannya langsung dari keseharian para mahasiswanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya punya mahasiswa yang cerita, 'Pak, saya bawa makan sendiri atau beli di warung murah lalu dibawa, daripada mampir ke mal atau tempat makan mahal. Beda Rp 10.000-15.000, Pak'. Itu sudah bentuk penghematan nyata," tuturnya kepada detikcom, Jumat (1/8/2025).

Ia menilai fenomena ini menunjukkan bagaimana daya beli masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami tekanan. Bahkan, tidak hanya berhemat dengan membawa bekal, sebagian orang juga mulai mengurangi kebiasaan berbelanja secara kredit. Ini mencerminkan ketidakpercayaan diri masyarakat untuk membayar cicilan belanja mereka.

"Tren orang untuk menggunakan kredit turun. Laju kredit perbankan kemarin kan sudah 7%, 8% paling tinggi. Kalau normal itu sudah 12-13% laju kreditnya. Jadi orang untuk rate konsumsi juga turun. Orang nggak berani untuk pinjam, untuk beli apapun," ucapnya.

Tauhid menjelaskan, penurunan daya beli yang memaksa masyarakat, khususnya kelas menengah, untuk berhemat, disebabkan oleh upah atau gaji yang relatif kecil. Padahal, harga barang dan jasa terus naik.

"Kalau upahnya yang diterima masyarakat relatif rendah dibandingkan kenaikan harga barang-barang maka otomatis daya beli nggak ngangkat. Nilai riil barang semakin mahal, upahnya nggak naik-naik," paparnya.

"Dulu misalnya gaji Rp 3 juta per bulan itu cukup. Naik dia gajinya jadi Rp 3,5 juta per bulan, ternyata kemudian harga misalnya sewa rumah dan sebagainya itu naikkan. Kan jadi nggak cukup. Artinya besaran upah juga menentukan," sambung Tauhid.

Ia memaparkan bahwa tingginya pengeluaran yang melampaui gaji tidak hanya terbatas pada bahan pokok saja, tapi juga kebutuhan dasar lain seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal.

"Biasanya setelah makanan, baru perumahan, baru pendidikan, kesehatan. Sekarang kan orang nggak terjangkau lagi dengan KPR, ya. Harga rumahnya semakin mahal sekali apalagi di perkotaan. Biaya pendidikan, kesehatan, sekarang mahalnya minta ampun. Nah itu nggak terkontrol," jelasnya.

Selain itu, daya beli masyarakat yang semakin lemah juga disebabkan oleh minimnya lapangan kerja. Belum lagi maraknya PHK membuat semakin banyak orang kehilangan sumber pendapatan yang layak.

"Jadi data BPS kemarin menunjukkan pengangguran, kemiskinan, sekarang cenderung di perkotaan jauh lebih tinggi. Lapangan kerja di perkotaan ternyata semakin sempit, pengangguran terdidik semakin banyak, kemudian fenomena PHK dan sebagainya di perkotaan kuat," terang Tauhid.

Lihat juga Video: 9 Juta Lebih Kelas Menengah Jatuh Miskin. Apa Efeknya Bagi Negara?

(igo/fdl)

Read Entire Article