Hasto Nilai Korupsi Bukan Kejahatan Kemanusiaan

10 hours ago 10
Terdakwa kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan, Hasto Kristiyanto menyampaikan tanggapannya usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (25/7/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menilai bahwa korupsi bukanlah kejahatan kemanusiaan.

Hal itu disampaikan Hasto lewat kuasa hukumnya, Annisa Ismail, dalam sidang perbaikan permohonan uji materiil Pasal 21 UU Tipikor, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (26/8).

"Ada penambahan satu alasan yang kami tambahkan di akhir alasan permohonan, yakni bahwa korupsi bukan kejahatan kemanusiaan," ujar Annisa Ismail, dalam persidangan, dikutip pada Rabu (27/8).

Kuasa Hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menghadiri sidang perbaikan permohonan pengujian materi Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (26/8/2025). Foto: Mahkamah Konstitusi RI

Annisa menjelaskan, bahwa korupsi merupakan fenomena global dan bukan sesuatu hal yang baru. Ia menyebut, korupsi memang diakui bukan masalah lokal, tapi fenomena transnasional yang berdampak pada semua masyarakat dan perekonomian.

Dalam kesempatan itu, pihak Hasto memandang bahwa korupsi bukanlah kejahatan luar biasa yang dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Menurut Annisa, pendapat tersebut dimuat dalam UN Convention Against Corruption, African Union Convention on Preventing and Combating Corruption, Council of Europe Civil Law Convention on Corruption, dan Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption.

"Semuanya memuat bahwa kejahatan korupsi dianggap sebagai suatu kejahatan biasa. Kami tidak menemukan ketentuan atau penjelasan bahwa korupsi itu adalah kejahatan yang luar biasa," ucap dia.

"Dari ketentuan yang saya sebutkan tadi sangat jelas bahwa korupsi itu hanyalah kejahatan biasa, tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus untuk memberikan hukuman yang luar biasa terhadap korupsi," terangnya.

Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa di negara-negara seperti Belanda, pengaturan suap-menyuap sebagai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda. Hal serupa juga terjadi di Prancis dan Jerman.

Namun, Annisa menyatakan hal berbeda justru terlihat dalam penerapan di Indonesia ihwal pemberantasan korupsi. Dalam aturan UU KPK, lanjutnya, pada intinya disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya juga tidak dapat dilakukan secara biasa.

"Tidak cukup alasan untuk mengatakan bahwa tindak pidana korupsi ini adalah kejahatan luar biasa hanya karena hal tersebut dimuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang KPK dengan mengkategorikasikan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa," papar dia.

"Kemudian, tuntutan dan perlakuan terhadap orang yang disangka dan dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus juga dilakukan dengan cara yang luar biasa," imbuhnya.

Dalam persidangan itu, Annisa juga menyatakan bahwa ancaman hukuman dalam Pasal 21 sebagai tindak pidana tambahan justru tidak proporsional dibandingkan dengan pidana pokok.

Dengan demikian, kubu Hasto tersebut menganggap Pasal 21 UU Tipikor dalam praktiknya menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil.

"Pasal 21 ini melanggar Pasal 28D ayat (1), Pasal 57 juga ditambahkan untuk menjelaskan betapa pentingnya pembatasan pada Pasal 21 dengan menambahkan unsur secara melawan hukum agar Pasal 21 ini memenuhi kriteria lex stricta, lex scripta, dan juga lex certa,” ucap Annisa.

Sebelumnya, gugatan uji materiil itu diajukan Hasto pada Kamis (24/7) atau sehari jelang menjalani vonis terkait kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku.

Adapun Pasal 21 UU Tipikor tersebut juga didakwakan oleh KPK terhadap Hasto dalam kasus tersebut. Berikut bunyinya: