Indonesia dan Revolusi Diplomasi Global Berkeadaban untuk Gaza

22 hours ago 3

KTT Perdamaian Gaza yang digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada Senin (13/10) malam, menjadi momentum diplomatik yang monumental di tengah kelelahan dunia terhadap perang berkepanjangan di Gaza. Di bawah sorotan kamera global, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi duduk berdampingan memimpin pertemuan tersebut. Di sisi kanan mereka, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, dan di sisi kiri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Dua figur yang selama ini dikenal vokal membela hak rakyat Palestina.

Presiden Indonesia Prabowo Subianto tampak hadir dengan jas abu-abu dan peci hitam, duduk di barisan kedua bersebelahan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Kehadirannya bukan hanya simbolik, tetapi juga mencerminkan posisi strategis Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Muslim yang memiliki rekam jejak panjang dalam diplomasi perdamaian.

KTT tersebut membahas dua isu krusial, yaitu gencatan senjata permanen antara Hamas dan Israel, serta pembukaan koridor kemanusiaan di Gaza. Namun, yang paling mengejutkan adalah pernyataan Presiden Donald Trump di akhir sidang bahwa perang di Gaza telah berakhir. Pernyataan itu disampaikan beberapa jam setelah Hamas membebaskan 20 sandera Israel melalui Palang Merah Internasional, yang disambut meriah oleh ribuan warga di Tel Aviv.

Sebagai bagian dari perjanjian damai, Israel membebaskan 2.000 warga Palestina yang selama ini ditahan tanpa pengadilan. Meski momen ini menimbulkan harapan, absennya pihak-pihak yang bertikai, Hamas dan Israel, dalam forum tersebut menandakan bahwa perdamaian belum benar-benar terinstitusionalisasi.

Ketidakhadiran Arab Saudi dan Uni Emirat Arab juga memperlihatkan fragmentasi dalam solidaritas negara-negara Arab. Hal ini menjadi celah bagi Indonesia untuk tampil sebagai mediator alternatif melalui jalur diplomasi pertahanan global. Indonesia bukan sekadar pengamat, tetapi memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memperjuangkan tatanan dunia yang berkeadilan dan beradab.

Dalam konteks teori defense diplomacy atau diplomasi pertahanan global, Indonesia dapat memanfaatkan instrumen pertahanan. Bukan dalam arti kekuatan militer ofensif, tetapi sebagai sarana memperkuat jaringan kepercayaan internasional, membangun koalisi perdamaian, dan menekan dominasi unilateral kekuatan veto.

Hak veto di Dewan Keamanan PBB telah menjadi batu sandungan utama dalam penegakan keadilan internasional. Amerika Serikat secara konsisten menggunakan veto-nya untuk melindungi Israel dari sanksi atau resolusi yang mengutuk tindakan militer di Gaza. Sistem ini menciptakan asimetri kekuasaan yang menegasikan prinsip kesetaraan antarnegara dalam hukum internasional.

Indonesia harus berani memimpin gerakan global untuk merevisi struktur veto di PBB. Langkah ini dapat dimulai dengan menggalang koalisi strategis antara BRICS, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Gerakan Non-Blok (GNB). Ketiganya memiliki kesamaan aspirasi, yaitu menciptakan tatanan dunia multipolar yang menolak dominasi satu kekuatan besar.

Palestina sebagai negara yang telah diakui oleh 157 anggota PBB, Indonesia memiliki legitimasi moral untuk menginisiasi koalisi damai untuk Palestina. Sebuah konsensus global yang menyerukan penghapusan atau pembatasan hak veto dalam isu-isu kemanusiaan dan konflik bersenjata. Saat mayoritas negara di dunia sudah mengakui sekaligus mendukung Palestina sebagai anggota penuh PBB, satu suara veto dari Amerika Serikat telah menggagalkan.

Dalam konteks hukum internasional, Palestina telah memenuhi seluruh kriteria dalam Konvensi Montevideo 1933. Kriteria itu meliputi syarat memiliki penduduk tetap, wilayah yang terdefinisi, pemerintahan yang berfungsi, dan kapasitas untuk menjalin hubungan diplomatik. Artinya, tidak ada lagi alasan legal bagi PBB untuk menunda keanggotaan penuh Palestina, selain tekanan politik dari negara veto.

Diplomasi Indonesia harus bergerak dalam dua jalur simultan. Pertama, jalur institusional melalui forum multilateral seperti PBB, BRICS, dan OKI. Kedua, jalur kultural yang menekankan nilai kemanusiaan universal sebagaimana termaktub dalam sila kedua Pancasila. Sinergi dua jalur ini memperkuat posisi Indonesia sebagai bridge nation, penghubung antara dunia Barat dan Timur.

Sebagai negara dengan sejarah panjang non-kolonialisme, Indonesia memiliki keunikan politik luar negeri yang tidak bias kekuatan besar. Hal ini membuat Indonesia dipercaya sebagai mediator yang netral dan beretika. Dalam kerangka pertahanan global, posisi ini harus ditransformasikan menjadi soft power strategis yang efektif menekan politik veto melalui diplomasi militer, keamanan maritim, dan latihan perdamaian bersama.

Keterlibatan aktif Kementerian Pertahanan dalam diplomasi multilateral bisa menjadi faktor pembeda. Sebab, keamanan regional dan perdamaian dunia kini tidak hanya ditentukan oleh negosiasi politik, tetapi juga oleh kepercayaan strategis di bidang pertahanan. Indonesia dapat menginisiasi “Forum Pertahanan Islam dan Selatan Global” yang berfokus pada stabilitas kawasan konflik seperti Gaza.

...
Read Entire Article