
Kasus mafia tanah terjadi di Kabupaten Sleman. Kali ini korbannya adalah seorang guru honorer swasta bernama Hedi Ludiman (49) dan istrinya Evi Fatimah (38).
Mereka bahkan telah berjuang selama 12 tahun agar sertifikatnya kembali. Bahkan sudah ada satu terpidana dalam kasus ini.
Namun kenapa sertifikat Evi tak kembali? Bahkan tetap dilelang oleh bank?
"Sertifikat itu untuk kembali ke pemegang hak atas tanah, kita landaskan pada putusan pengadilan. Bisa nanti misalnya gugatan PTUN atau gugatan perdata, karena untuk sebagai dasar kami memang dari dasar putusan pidana, bisa nanti dicarikan dasar untuk tindak lanjut pada eksekusi administrasi," kata Kepala BPN atau Kantor Pertanahan Sleman Imam Nawawi di kantornya, Rabu (14/5).

Dalam kasus seperti ini, Imam bilang pihaknya bisa membalik nama ke nama Evi kembali apabila ada putusan perdata dari pengadilan atau PTUN.
Sementara yang terjadi di kasus Evi, pada 2015 silam putusan perdatanya Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.
"Gugatannya apa, itu harus diisi, termasuk pertimbangan hakim itu pun menjadi dasar kami untuk melihat pertimbangan hakim dalam putusan itu. Gugatan apa, putusannya seperti apa," bebernya.
"Mestinya dulu mengajukan dari dasarkan pidana tadi, mengajukan gugatan perdata atau PTUN untuk membatalkan peralihan," bebernya.
Menurutnya pembatalan peralihan sertifikat harus berdasarkan putusan perdata bukan pidana. "Enggak bisa, coba nanti kami cek lagi," tuturnya.
Kasus Hedi dan Evi
Hedi dan Evi telah berjuang selama 12 tahun melawan mafia tanah. Yang jadi objek adalah tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman.
Hedi adalah guru honorer di SMK swasta, gajinya Rp 150 ribu per bulan. Untuk menopang kesehariannya dia juga bekerja jadi montir bengkel.
Bermula Tahun 2011
Sekitar 2011, Evi kedatangan ibu dan anak yang hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konveksi. Saat itu, Evi masih tinggal di Seyegan, Sleman, di rumah keluarga Hedi. Rumah di Paten ini memang biasa disewakan saat itu.
"Ada dua orang SJ (laki-laki) dan SH (perempuan), mau mengontrak terus akhirnya ketemu istri saya tahun 2011. Mau ngontrak rumah selama 5 tahun. Setahunnya Rp 5 juta. Selama 5 tahun maka Rp 25 juta," kata Hedi ditemui di rumahnya, Senin (12/5).
Saat itu sudah ada kesepakatan harga. Rencananya SJ dan SH akan mulai menempati pada 2012. Dalam proses ini, SJ dan SH membujuk Evi untuk memberikan sertifikat tanahnya sebagai jaminan sebelum menempati rumah.
"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang saya kan sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi menambahkan.
Uang kontrakan dibayar dicicil dari Agustus sampai Desember 2011. Dalam rentang waktu itu. Evi dibujuk untuk datang ke kantor notaris di Kalasan, Sleman. Alasan dari SJ dan SH adalah untuk tanda tangan perjanjian mengontrak rumah.
"Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Setengah kaya digendam atau dipaksa," kata Hedi.
Evi tak boleh membaca surat yang dia tandatangani. Oleh SH dia disuruh segera menandatangani. Tak ada firasat buruk, bahwa ini awal malapetaka yang dialami Evi dan keluarga.
Mei 2012 Bank Datang
Pada Mei 2012, pihak salah satu bank BPR datang ke rumah. Dari situ didapati informasi sertifikat bank tanah dan rumah ini telah diagunkan untuk utang senilai Rp 300 juta dan kreditnya macet.
Namun, saat itu sertifikat masih atas nama Evi. Bank saat itu juga menginformasikan sertifikat tengah dibalik nama.
Setelah itu, pada 1 Juni 2012, Hedi mengecek ke BPN ternyata sertifikat milik istrinya telah beralih ke atas nama SJ.
Satu Pelaku Dipidana
Hedi lalu melapor ke Polres Sleman terkait penipuan dan penggelapan. Akhirnya pada 2014, SH berhasil ditangkap polisi. Namun, SJ statusnya masih buron sampai saat ini
SH kemudian disidang di Pengadilan Negeri Sleman dan divonis 9 bulan kurungan penjara.
Dari persidangan itu pula, Hedi mendapati fakta ada kuasa jual hingga akta jual beli (AJB). Selain itu ada pula KTP palsu istrinya yang katanya dilegalisir oleh notaris di Kalasan.
Notaris tersebut kemudian dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) notaris. Menurut Hedi di sana notaris tersebut dinyatakan bersalah secara etik.

Gugat Perdata
Hedi kemudian menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Sleman baik itu SJ dan SH serta pihak bank.
Saat itu putusannya Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.
Saat itu dia hendak mengajukan banding. Namun pengacaranya pergi. Hedi juga melaporkan bank ke Ditreskrimsus Polda DIY namun SP3.
Meski sudah ada terpidana dalam kasus ini, tetapi sertifikat milik Evi pun tak kembali ke tangannya.
"Tidak ada (putusan sertifikat kembali), kan NO. Pengacara juga lari, saya mencari pengacaranya. Tidak berani kalau banding ini," terangnya.
Sertifikat Diblokir, Lelang Tetap Berjalan
Hedi sempat menunjukkan surat-surat BPN Sleman bahwa sertifikat tanahnya diblokir. Namun ternyata tetap ada lelang oleh bank. Padahal setahu dirinya ketika sertifikat diblokir tak bisa ada lelang. Lelang itu dimenangkan oleh RZA.
"Kan diblokir di BPN, ternyata dalam prosesnya dibalik lagi. Dari SJ ke orang bernama RZA," katanya.
Kini sertifikat tanah dan bangunan dengan nilai aset sekitar Rp 5 miliar itu tak tahu rimbanya. Padahal tanah ini merupakan tanah warisan dan hingga saat ini masih ditempati oleh Hedi dan Evi bersama anak-anak mereka.
Harapan Hedi, sertifikat tanah milik istrinya bisa segera kembali. "Harapan saya untuk mengembalikan sertifikat atas nama istri saya," kata bapak tiga orang anak ini.