Jakarta -
Pemakaian galon isi ulang sebagai sumber air minum masih menjadi pilihan banyak masyarakat Indonesia karena kemudahannya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 34 persen rumah tangga di Indonesia mengandalkan air isi ulang sebagai sumber utama air minum. Namun, kekhawatiran muncul soal risiko kesehatan jangka panjang, terutama terkait potensi migrasi zat kimia berbahaya dari wadah plastik ke dalam air minum.
Bisphenol A (BPA) adalah senyawa kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi, termasuk dalam galon. Dalam kondisi tertentu, BPA bisa larut ke dalam air, terutama jika galon sudah tua, tergores, atau terpapar panas berlebih. Dalam berbagai penelitian, BPA dikaitkan dengan risiko gangguan hormon dan potensi karsinogenik, yaitu kemampuannya memicu pertumbuhan sel kanker.
Pendapat Pakar: BPA Bisa Pengaruhi Proses Kanker
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prof Zubairi Djoerban, pakar hematologi-onkologi, mengungkapkan sejumlah studi telah menunjukkan BPA bersifat karsinogenik. Artinya, BPA bisa berperan dalam proses
pembentukan kanker melalui berbagai mekanisme biologis.
"BPA bisa memengaruhi mitosis (pembelahan sel), ekspresi gen, dan jalur biologis yang berperan dalam tumbuhnya kanker," jelas Prof Zubairi kepada detikcom, Kamis (31/7/2025).
Namun ia menegaskan, belum semua penelitian menunjukkan hasil konsisten. Artinya, keterkaitan antara BPA dan kanker masih perlu diteliti lebih lanjut secara lebih mendalam dan menyeluruh.
Jenis Kanker yang Berpotensi Berkaitan dengan BPA
BPA termasuk endocrine disruptor, zat yang bisa mengganggu sistem hormon dalam tubuh. Karena itu, BPA berpotensi memengaruhi kerja reseptor hormon seperti estrogen, progesteron, dan HER-2, yang berperan penting dalam pertumbuhan beberapa jenis kanker.
Contoh yang sering dikaji adalah kanker payudara, jenis kanker dengan prevalensi tertinggi di dunia, termasuk di Indonesia. Banyak kasus kanker payudara memiliki karakteristik hormonal yang bisa dipengaruhi BPA, seperti reseptor estrogen positif (ER+), progesteron positif (PR+), dan HER-2.
Menurut Prof Zubairi, riset juga menunjukkan BPA dapat berdampak pada hampir semua tahap karsinogenesis, proses perubahan sel sehat menjadi sel kanker. Ini termasuk fase mitosis, aktivasi jalur molekuler, hingga ekspresi gen abnormal.
"Tapi ada juga penelitian lain yang tidak menemukan hubungan itu," tegasnya, menekankan bahwa konsistensi bukti ilmiah masih belum kuat.
Regulasi BPA di Berbagai Negara
Sejak 1960-an, BPA digunakan luas di berbagai negara termasuk Amerika Serikat, dalam produk seperti botol susu bayi, galon air, hingga struk belanja.
Namun, regulasi terhadap BPA relatif berbeda di setiap negara. Amerika Serikat dan Inggris melarang BPA dalam produk bayi dan anak karena sistem tubuh mereka lebih rentan. Sementara, Jepang menerapkan pembatasan lebih luas terhadap penggunaan BPA di semua usia.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan menetapkan batas maksimal migrasi BPA dari kemasan 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Selain itu, ada juga Peraturan BPOM No. 6/2024 yang mewajibkan pelabelan BPA pada kemasan galon berbahan polikarbonat.
Regulasi di berbagai negara masih terus berkembang. Pengawasan dan literasi publik menjadi penting untuk melindungi konsumen. Secara teori, penggunaan galon guna ulang, terutama yang sudah digunakan dalam jangka panjang, bisa meningkatkan risiko migrasi BPA ke dalam air, terlebih bila galon tidak dalam kondisi baik. Meski begitu, hingga kini belum ada bukti ilmiah pasti yang mengaitkan langsung konsumsi air dari galon BPA dengan kejadian kanker.
Karena itu, Prof Zubairi menyarankan masyarakat untuk bersikap preventif dan berhati-hati, seraya mengikuti perkembangan riset ilmiah.
"Dulu kita pakai ivermectin atau oseltamivir buat COVID-19, tapi kemudian ditemukan malah berbahaya. Bukti ilmiah bisa berubah," ujarnya, mengingatkan bahwa sikap waspada penting meski risiko belum terlihat secara langsung.
Prof Zubairi mengingatkan agar masyarakat tidak panik berlebihan. BPA yang masuk ke tubuh lewat makanan atau minuman umumnya bisa dikeluarkan oleh liver jika fungsi organ baik dan gaya hidup sehat dijaga.
"Semua ahli sepakat, hindari produk mengandung BPA untuk bayi dan anak. Untuk orang dewasa, belum ada bukti kuat dan konsisten soal risiko kesehatannya," sambungnya.
(naf/kna)