MK Tegaskan Menkum Tetap Jadi Pemegang Otoritas Ekstradisi dan MLA

1 day ago 11

Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk memindahkan kewenangan pemegang otoritas (central authority) dalam proses ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA) dari Menteri Hukum (Menkum) ke Jaksa Agung. MK menegaskan Menkum tetap menjadi pemegang otoritas ekstradisi dan MLA.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan Nomor 180/PUU-XXII/2024 di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).

Perkara ini diajukan oleh lima orang jaksa, yakni Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudirdja, Muh Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswari. Selain itu, ada seorang WNI, Donalia Faimau, yang mengaku pernah diminta menjadi saksi tindak pidana perdagangan orang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam permohonannya, pemohon mempermasalahkan kewenangan Menkum sebagai pemegang otoritas dalam proses ekstradisi dan MLA. Pemohon menilai hal itu seharusnya menjadi kewenangan dari Jaksa Agung.

Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangannya, mengatakan dalil pemohon yang mempersoalkan central authority yang dimiliki Menkum dalam ekstradisi dan MLA, bukan masalah konstitusional norma. Namun, menurut dia, hal itu terkait dengan kebijakan hukum pembentuk undang-undang.

Arsul mengatakan Pasal 36 UU Ekstradisi telah secara eksplisit menentukan bahwa pertimbangan Menkum, Menlu, Jaksa Agung, dan Kapolri kepada Presiden dalam permohonan ekstradisi harus berdasarkan pada hasil putusan pengadilan. Maka, menurut MK, tidak terdapat tindakan sepihak atau kekuasaan mutlak dari Menkum dalam melakukan ekstradisi dan MLA.

"Oleh karena itu, melihat logika perumusan norma Pasal 36 UU 1/1979 dimaksud oleh karena Menteri Hukum merupakan pejabat yang melaksanakan urusan bidang hukum untuk kepentingan eksekutif sehingga dalam konteks a quo diposisikan sebagai pemegang otoritas (central authority). Dengan demikian, posisi Menteri Hukum sebagai central authority dalam UU 1/1979 dan UU 1/2006 tidak mengganggu independensi lembaga penegak hukum," jelasnya.

"Artinya, kedudukan Menteri Hukum sebagai pemegang central authority bukan merupakan bentuk campur tangan terhadap penegakan hukum, melainkan sebagai pelaksanaan fungsi administratif di bawah domain eksekutif," sambungnya.

Arsul mengatakan Menkum menjalankan tugas mengoordinasikan, menerima, dan menyampaikan permintaan bantuan hukum antarnegara sebelum Presiden mengambil keputusan. Arsul mengatakan Menkum tak berwenang untuk menentukan kesalahan seseorang, menyita aset, maupun memutuskan ganti rugi kepada korban.

"Fungsi Menteri Hukum sebagai jembatan administratif antara Indonesia dan negara mitra dalam rangka kerja sama internasional. Dalam kaitan ini, fungsi penegakan hukum tetap dijalankan oleh lembaga penegak hukum sesuai dengan mekanisme hukum acara yang berlaku," ujar Arsul.

Lebih lanjut, Arsul menjelaskan terkait adanya perubahan nomenklatur Kemenkum dari Kementerian Hukum dan HAM merupakan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun MK menegaskan hal itu tidak secara otomatis menghapus eksistensi dan keabsahan kewenangan yang ditetapkan UU.

Selain itu, MK menilai potensi adanya tumpang-tindih kewenangan antara Menkum dan Jaksa Agung, terutama dalam praktik pemulihan aset lintas yurisdiksi bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan berkaitan dengan tata kelola serta implementasi antar-instansi.

"Menteri Hukum sebagai central authority berkewajiban untuk mempercepat proses administrasi penanganan ekstradisi dan MLA sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan," tuturnya.

(amw/fca)

Read Entire Article