Nggak Bisa Stop Scroll Medsos Seharian? Bisa Jadi Ini Pemicunya

18 hours ago 5
Jakarta -

Seorang pakar telah menguraikan alasan ilmiah di balik orang yang tidak pernah berhenti bermain atau 'scroll' media sosial. Misalnya sering memutar ulang Instagram Story milik sendiri daripada orang lain.

Terkadang orang juga merasa cemas apakah postingannya cukup 'estetis', sampai akhirnya mempostingnya. sampai beberapa detik kemudian, muncul banyak like dan komentar dari teman mutual di media sosial.

Tanpa sadar, seseorang akan menunggu lebih banyak lagi yang masuk dan begitu terus siklusnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu sama dengan menggulir atau scroll media sosial tanpa berpikir menghabiskan beberapa menit atau berjam-jam. Bahkan menyerap beberapa konten paling membosankan di internet.

Namun, rasanya masih menyenangkan, bahkan bagi beberapa orang terlalu menyenangkan. Jadi, kenapa seseorang bisa tidak pernah berhenti scroll media sosial?

Rob Phelps dari Digital PR menjelaskan bawa keinginan kita untuk mendapatkan like atau suka berakar pada biologi dan kebutuhan mendalam. Tetapi, itu masih manusiawi karena beberapa orang membutuhkan pengakuan.

Malah, media sosial telah meningkatkan kebutuhan kita akan validasi. Kita bisa mendapatkannya di ujung jari, di mana pun kita berada dan apa saja yang kita lakukan.

Meskipun sensasi itu terasa adiktif, saat itu juga media sosial hadir dengan sisi yang jauh lebih gelap. Lantas, mengapa kita selalu scroll media sosial?

Lingkaran Dopamin

Ketika seseorang menerima suka atau komentar, otak akan melepaskan dopamin. Itu merupakan zat kimia pemicu rasa senang, yang memberikan imbalan atas pengalaman yang menyenangkan.

Rasa senang ini sama seperti yang didapatkan saat membeli sesuatu yang baru, makan permen, atau mendengar kabar dari orang yang disukai. Tetapi, imbalan ini (kebanyakan) dapat diprediksi, sedangkan validasi media sosial tidak bisa.

Ketidakpastian itulah yang memicu zat adiktif. Antisipasinya sering kali sama kuatnya dengan imbalan itu sendiri. Hal itu membuat seseorang terpaku pada ponsel dan terus-menerus menggulir media sosial untuk mencari dopamin.

"Suka dan komentar telah menjadi 'mata uang' baru bukti sosial," terang Rob yang dikutip dari Unilad.

"Ini bukan hanya terlihat seperti seseorang menikmati konten Anda. Ini sebenarnya bertindak sebagai papan skor publik untuk pengaruh, nilai, dan rasa memiliki. Itulah mengapa banyak dari kita merasa perlu menghapus postingan jika tidak memiliki 'kinerja baik' atau menikmati peningkatan kepercayaan diri saat sebuah reel atau foto mendapatkan lebih banyak reaksi," jelasnya.

Sebab, suka dan komentar yang diberikan orang-orang dapat memberikan bobot tambahan, sehingga orang lain juga melihat validasi yang diterima.

Jebakan Perbandingan

Sisi gelap validasi adalah bagaimana orang membandingkan sesuatu yang mereka anggap 'lebih baik'. Penelitian menunjukkan bahwa membandingkan tingkat keterlibatan daring meningkatkan perasaan cemas dan rendah diri.

"Anda bisa mengunggah gambar yang Anda sukai, dan gambar itu mendapatkan 20 likes. Tetapi, teman-teman Anda mengunggah gambar yang serupa dan mendapatkan like lebih banyak," beber Rob.

"Otak Anda langsung tahu itu hanyalah angka di layar. Tetapi, secara emosional, itu bisa terasa seperti penolakan," sambungnya.

Rob mengungkapkan hal itu membuat rasa berharga diri sendiri cepat berkurang karena orang lain menerima interaksi yang lebih nyata. Jebakan ini tidak hanya mempengaruhi remaja atau pengguna media sosial yang aktif, tetapi juga mempengaruhi siapa pun yang menggunakan platform digital, mulai dari orang tua hingga profesional.

Simak Video "Video: Apa Itu 'Doomscrolling' dan Bagaimana Cara Menyikapinya"
[Gambas:Video 20detik]
(sao/naf)


Read Entire Article