Saat Keuangan Syariah Loyo di Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia

1 week ago 4
Jakarta -

Keuangan syariah ternyata masih punya banyak tantangan di Indonesia, meskipun masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Isu besar yang masih jadi sorotan antara lain soal inklusivitas dan tingkat literasi perbankan syariah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025, indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan keuangan konvensional.

Tercatat, indeks literasi keuangan syariah sebesar 43,42% per 2025. Sementara itu, indeks inklusi keuangan syariah berada di angka 13,41%. Jika dibandingkan dengan indeks keuangan konvensional (metode keberlanjutan), tercatat masing-masing angkanya yakni 66,45% dan 79,71%. Angka ini menunjukkan disparitas yang besar, di negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal ini, Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono, mencoba membagikan perspektifnya soal tantangan perbankan syariah. Kepada detikcom, ia juga membagikan buah pikirnya dalam ranah perbankan syariah supaya bisa lebih diterima di masyarakat.

Bank Muamalat ini 'anak sulung' untuk konteks perbankan syariah di Indonesia. Menurut Pak Imam, dinamikanya seperti apa di lapangan, terutama di masyarakat saat ini soal literasi, keuangan syariah, dan inklusinya itu sendiri?

Secara umum memang ada yang menarik ya, kalau di dunia syariah. Karena angka literasi dan angka inklusi itu berbanding terbalik, di mana angka literasi jauh lebih tinggi daripada angka inklusi. Jadi, kondisinya banyak orang yang sudah aware terhadap syariah. Artinya, mungkin muslim sudah tahu bahwa misalkan riba itu haram, dan seterusnya. Tetapi, tingkat penggunaan produk bank syariahnya masih rendah.

Nah, ini uniqueness-nya disini. Artinya, komunitas dalam hal ini industri, termasuk pelakunya, termasuk pengawasnya itu sudah berhasil meningkatkan awareness. Tapi gagal untuk mengajak masyarakat untuk menggunakan produknya. Nah, gap ini yang harusnya dicari tahu apa sebabnya. Bisa jadi karena tingkat compatibility daripada produk syariah yang belum memadai, aksesibilitas yang mungkin sulit.

Atau yang berikutnya memang awareness yang dimaksud itu tidak mampu mengubah paradigma. Ini yang harus dicari. Jadi, jangan-jangan memang saat ini awareness yang dimunculkan itu syariah hanya sebagai lingkup produk saja.

Apa sih bedanya syariah dalam konteks lingkup produk dan fitur produk? Dengan konsep syariah dalam artian yang kita deliver itu adalah value dan benefit. Contohnya, kalau kita men-deliver suatu barang ke publik, kemudian apa bedanya syariah dengan yang konvensional, misalkan. Di syariah itu kita tidak mengenal bunga, lantas apa?

Margin bagi hasil. Nah, tatarannya cuma sampai situ. Jadi, yang kita deliver itu adalah komparasi fitur. Pada saat yang kita komparasi dan yang kita deliver itu produk dan fitur produk, maka yang ada di kepala konsumen itu syariah sebagai substitute daripada (bank) konvensional.

Sejauh itu paradigmanya substitute, pada saat syariah itu tidak men-deliver margin kurang dari 5% seperti yang ada di (bank) konvensional, maka dia pindah lagi. Atau 'ngapain juga ke (bank) syariah, kok mirip-mirip aja'. Sementara harusnya kembali ke khittah-nya (landasan) bahwa syariah itu konsepnya yang harus diubah adalah paradigmanya. Jadi, start-nya itu dengan halal-haram, start-nya itu dengan keberkahan dan seterusnya. Nah, kenapa ini tidak dikerjakan atau mungkin miss (terlewat) dikerjakan karena bank syariah maupun bank konvensional masih dikenakan KPI (key performance indicator) yang sama.

Jadi, bagaimana mau bisa membedakan. Kalau dalam konteks yang kita deliver itu adalah tadi mengubah paradigma, sehingga keputusannya adalah transformasi, berubah dari konvensional ke syariah. Untuk mendapatkan satu nasabah mungkin lama, atau mungkin dalam hal tertentu bank syariah harus suffer dengan NIM (nett interest margin) yang mungkin lebih kecil, dan seterusnya. Nah, ini apakah dimungkinkan? Dimungkinkan kalau memang pemilik daripada bank syariah itu sudah memahami bedanya syariah dan konvensional. Sehingga KPI-nya beda, pada saat KPI-nya beda maka ini yang kemudian bisa membuat performance dan attitude dari bank syariah itu berbeda.

Jadi, juga jangan salahkan kalau bilang tidak ada bedanya. Kalau sudah bertransformasi, harapannya awareness dengan inklusi ini akan sejalan. Itu bisa miss karena para banker syariah bekerja sebagaimana layaknya banker konvensional.

Pak Imam menyebutkan soal aksesibilitas yang juga jadi kendala soal literasi di perbankan syariah. Ini juga ada tadi disebut banker syariah bekerja seperti banker konvensional. Ini konkretnya seperti apa?

Kalau aksesibilitas memang kita lihat tingkat presensi bank syariah untuk penetrasi sampai ke daerah-daerah itu masih relatif terbatas. Jumlah kantor cabang dan seterusnya. Tapi itu masih valid untuk remote, tapi kalau untuk kota harusnya digitalisasi sudah selesai. Kalau mahal-murah, kita kembali lihat ke strukturnya, mulai dari skala ekonomi, komposisi DPK-nya (dana pihak ketiga), dan seterusnya itu menyebabkan mahal-murah, bukan haram-halalnya.

Nah, jadi kenapa mahal? Ya karena scale of economics-nya bank syariah belum sebesar bank konvensional. Sehingga cost per transaction-nya pasti lebih mahal karena infrastrukturnya sama, tapi yang satu melayani banyak transaksi, yang satu lebih sedikit.

Kedua, komposisi dana. Kita juga lihat banyak sekali bank-bank syariah yang komposisi CASA (current account saving account)-nya itu jauh di atas perbankan konvensional. Itu karena dikejar KPI yang sama, maka yang penting DPK naik, segala macam begitu.

KPI menjadi penting, kenapa? Sementara kalau di dalam konteks syariah sebenarnya kita mengenal yang namanya maksud syariah, itu adalah alasan kenapa harus diterapkannya syariah. Itu ada 5 parameter yang disepakati oleh para ulama sebagian besar. Pertama, parameter keimanan, kemudian parameter keselamatan jiwa, parameter keselamatan anak-cucu, parameter kecerdasan akal, dan yang terakhir kesejahteraan atau parameter meningkatnya harta.

Kalau kita bicara ke pihak perbankan saat ini, umumnya hanya melihat parameter peningkatan harta seperti NIM, ROA (return on asset), ROE (return on equity), dan seterusnya. Semua larinya kepada profitability. Tapi apakah nasabah yang ber-bank dengan bank syariah itu semakin sadar tentang akidahnya, bayar zakatnya lebih tertib dibanding yang di luar, sedekahnya lebih banyak, wakafnya lebih banyak. Itu tidak pernah dihitung atau dijadikan sebagai parameter keberhasilan.

Kedua, apakah dia (nasabah) menjadi lebih cerdas setelah dia ber-bank syariah, mengenal konsep high risk-high return, mengenal konsep-konsep ekonomi sederhana. Apakah dia mengenal konsep 'there is no cost without production', itu misalkan orang kalau ber-bank syariah itu makin cerdas. Dalam artian, kecerdasan yang biasa sering OJK (Otoritas Jasa Keuangan) campaign gitu, ya. Jangan tertipu investasi bodong, itu sebenarnya dari kalau bank syariah udah jelas.

Kedua, kita tidak mungkin hadir di sebuah bisnis tanpa modal, memangnya ada? Justru di bank syariah yang aktif melakukan edukasi tersebut. Pertanyaannya, ada tidak parameter-parameter yang diterapkan kepada manajemen bank syariah bahwa dia sudah melakukan edukasi yang cukup tinggi.

Ketiga, misalkan keselamatan dari anak-cucunya, anak-cucu itu bicara tentang lingkungan, tentang keberlanjutan. Nah, harusnya bank syariah itu yang paling terdepan bicara tentang green economy. Sekarang, (kenyataannya) tidak karena dipaksakan, atau green economy (dinilai) lebih mahal tapi return kita lebih rendah. So, what? Memang bukankah itu nilainya? Pertanyaannya, ini kita bicara parameter apa? Sehingga akhirnya, dengan parameter yang sama, jadi perilaku bank syariah itu sama dengan perilaku bank konvensional. Jadi letaknya di situ. Harusnya KPI syariah dan KPI konvensional berbeda.

Mungkin harus ada penyesuaian dari regulasi juga?

Betul, jadi berapa jumlah orang yang dientaskan dari kemiskinan, berapa jumlah UMKM yang berhasil kamu entaskan itu harusnya jadi parameternya bank syariah.

Bank Muamalat adalah pionir, sudah dari tahun 1991. Apakah Bank Muamalat sudah bergerak dalam koridor itu dan membawa isu sosial juga dalam konteks perbankan syariah?

Epicentrum dari pemilik memang. Manajemen 'kan lebih ke arah yang disodorkan oleh pemiliknya. Parameter ada seperti itu, maka kita bekerja. Karena nanti kita akan mendapatkan reward and punishment berdasarkan guideline daripada sang pemilik bank. Justru di sinilah letak uniqueness dari Bank Muamalat, karena menjadi bank yang lahir dari amanah umat. Dia bukan bank BUMN, dia juga bukan bank milik konglomerat. Bank Muamalat ini justru lahir dari sebuah pergerakan waktu itu tahun 1991-1992, dicetuskan oleh beberapa ulama dan didukung oleh presiden waktu itu, Pak Soeharto dan 'para jemaah haji'.

Kalau kita lihat pembentukan Bank Muamalat itu adalah pertama, dari setoran saham dari masyarakat, yang waktu itu prospektusnya ada di Harian Republika Rp10.000. Ditambah Rp 10.000 juga saham dari para jemaah haji yang berangkat. Sebenarnya ini adalah sebuah mandat besar dari umat, yang kalau ditanya 'siapa yang paling mungkin menjalankan KPI ini?', dalam konteks ini ya harusnya Bank Muamalat.

Tetapi dalam perjalanannya memang kita lihat dinamikanya. Tapi paling ti...

Read Entire Article