Jakarta -
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan total nominal simpanan Bank Umum (BU) di Indonesia pada Mei 2025 mencapai Rp 109 triliun. Jumlah ini tercatat meningkat terbatas sebesar 0,4% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya (MoM).
Jika dilihat tiering simpanan, nominal simpanan terbesar berada pada simpanan di atas Rp 5 miliar dengan porsi 54,5% dari total simpanan yang ada. Jumlah nominal simpanan untuk kelompok ini tumbuh 1% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, menunjukkan isi tabungan orang kaya semakin tebal.
Di sisi lain, tabungan untuk kelas menengah malah semakin tipis. Hal ini terlihat dari nominal simpanan pada tier di bawah Rp 100 juta terkontraksi sebesar 0,9%. Tanda bahwa isi tabungan milik orang kelas menengah tambah cekak, saat tabungan milik orang kaya tambah tipis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, melihat laju simpanan di bawah Rp 100 juta milik masyarakat kelas menengah yang kini terkontraksi menjadi salah satu sinyal penurunan daya beli. Sebab kelompok kelas menengah ini hanya bisa menyisakan dana yang dapat ditabung semakin sedikit.
"Laju simpanan, terutama simpanan yang di bawah Rp 100 juta, ini kan kelas menengah banget, itu semakin kecil, semakin rendah. Nah itu menunjukkan memang daya beli mereka tertekan," jelas Tauhid kepada detikcom, Jumat (1/8/2025).
Tauhid menjelaskan, dalam kondisi daya beli menurun, masyarakat otomatis akan memutar otak untuk sebisa mungkin mengurangi pengeluaran. Baik itu dalam hal berbelanja, menarik kredit, hingga menekan bujet makan sehari-hari.
"Dalam situasi seperti ini, strategi mereka ya klasik: kencangkan ikat pinggang. Itu akan selalu dilakukan," tegasnya.
Termasuk saat berbelanja kebutuhan lain, Tauhid mengatakan tak sedikit masyarakat mulai beralih ke toko online, daripada belanja di gerai-gerai mal. Hal ini dilakukan sebagai langkah penghematan di tengah penurunan daya beli.
Sebab pada akhirnya masyarakat cenderung akan membeli barang di tempat yang lebih murah. Di mana mayoritas toko online mampu menjual barang lebih murah dari gerai di dalam mal.
Tak heran jika peralihan konsumen dari gerai di mal ke online kemudian membuat banyak Roh Halus alias rombongan hanya ngelus-ngelus 'gentayangan'.
Di mana para Roh Halus ini datang ke mal hanya untuk memastikan kualitas dan ukuran suatu produk, biasanya pakaian atau produk fesyen lainnya. Namun mereka tidak beli produk di toko tersebut, melainkan 'kabur' ke toko online yang biasanya jauh lebih murah.
"Jadi kenapa mereka jarang beli, mereka ke sana memang kalau ada barang-barang yang dibutuhkan. Kalau memang ternyata barang dibutuhkan lebih mahal dari yang ada katakanlah di e-commerce, mereka nggak akan beli. Perkembangan digitalisasi cenderung membuat harga semakin kompetitif, jadi ketika mereka ke mal ternyata harganya lebih mahal mereka nggak akan jadi beli," terangnya.
"Jadi ya jarang mereka beli, apalagi selisih harganya bagi mereka sangat signifikan 10-20%. Akhirnya ya mereka hanya datang untuk melihat barang fisiknya kayak gini, tapi di e-commerce bisa jauh lebih murah," sambung Tauhid.
(igo/fdl)