Pengusaha kafe dan restoran di Malang, Jawa Timur menilai besaran royalti musik berpotensi mematikan usaha kafe dan restoran. Mereka menuntut transparansi sistem royalti musik itu.
Ketua PHRI Kota Malang Agoes Basoeki mengatakan bahwa hampir seluruh hotel berbintang 3 ke atas di wilayahnya telah mendaftarkan diri ke LMKN atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. LMKN adalah sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 untuk mengelola royalti hak cipta lagu dan/atau musik. LMKN bertugas menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti, serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait.
Hotel-hotel itu juga sudah membayar royalti musik. "Hotel-hotel bintang tiga ke atas rata-rata sudah mendaftar dan tertib membayar royalti," ujar Agoes dikutip dari detikjatim, Minggu (17/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, restoran di Malang belum menjadi anggota LMKN dan belum membayar royalti musik. Restoran-restoran itu pun memilih untuk tidak menyuguhkan live music, termasuk restoran di kawasan Kayutangan Heritage, Malang.
Pengusaha kuliner bahkan menolak atau menunda pembayaran royalti karena mengeluhkan besaran tarif yang dianggap memberatkan. Bahkan, sejumlah restoran memilih menghentikan live music secara total.
"Beberapa restoran di Kayutangan dan kawasan wisata lainnya mulai menghentikan live musik karena belum urus izin atau merasa tarifnya terlalu tinggi," kata Agoes.
PHRI Kota Malang dalam waktu dekat akan melakukan koordinasi lanjutan dengan DPD dan DPP PHRI agar skema tarif royalti musik yang ditetapkan oleh LMKN ditinjau ulang.
"Kami akan sampaikan ke pusat agar ada penyesuaian tarif. Bukan menolak, tapi berharap bisa disesuaikan dengan skala usaha," kata dia.
Berdasarkan situs resmi LMKN, tarif royalti untuk restoran tergantung pada luasan tempat, frekuensi pemutaran musik, dan kapasitas pengunjung.
Untuk restoran kecil, tarif bisa berkisar dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bulan. Adapun, restoran besar dengan live music reguler bisa membayar hingga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan.
Bagi pelaku usaha yang tidak mengantongi izin dari LMKN, sanksi hukum cukup serius bisa diberlakukan. Mulai dari denda hingga penutupan usaha jika terbukti melanggar hak cipta secara komersial.
Banyak pengusaha restoran mengaku belum mengurus sertifikat dan izin karena merasa kebijakan ini belum tersosialisasi secara maksimal dan transparan, sehingga mereka memilih menghindari risiko dengan cara menyetop pertunjukan live music.
Saksikan Live DetikSore:
Royalti Musik Diterapkan di Tengah Daya Beli Turun Berpotensi Blunder
Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Kota Malang Indra Setiyadi mengatakan di tengah daya beli masyarakat yang turun, banyak kafe atau restoran di Kota Malang memilih tidak memutar lagu.
Apalagi, pembayaran royalti yang harus ditanggung kafe dan restoran cukup mahal. Sehingga banyak kafe dan restoran menghindari polemik royalti dengan tidak memutar lagu Indonesia atau memutar lagu dari luar negeri.
"Para pengusaha juga sedang menghadapi penurunan daya beli masyarakat. Sehingga memilih untuk tidak memutar lagu," kata Indra.
Menurutnya, penarikan biaya royalti berdasarkan jumlah kursi dinilai tidak ideal. Sebab dari kursi yang disediakan tentu tidak menjamin seluruh kursi terisi setiap hari. Pelanggan pun belum tentu menikmati lagu yang kebetulan diputar petugas kafe atau restoran karena sifatnya hanya pelengkap suasana.
Menurut Indra, tidak sepatutnya kafe dan restoran dipungut royalti tinggi. Berbeda dengan pub atau diskotik, jenis usaha itu baru bisa dimaklumi saat ditarik royalti tinggi. Sebab daya tarik utamanya memang ada di musik yang diputar.
"Kalau pun atau diskotik komoditas utama mereka memang menjual musik," ujar dia.
Indra menyarankan agar penetapan tarif royalti dilihat berdasarkan kelas restoran atau kafe. Misalnya restoran bintang lima tarifnya lebih tinggi dari bintang dua. Skema itu dinilai meyakinkan dan lebih adil untuk diterapkan.
Tuntut Transparansi LMKN: Sistem Seperti Apa, Royalti buat Siapa?
Marketing New Order Coffee Khan Dafaa juga mempertanyakan mengapa kebijakan itu baru diterapkan, padahal aturan hak cipta sudah ada sejak lama. Dafaa mengatakan dengan bayang-bayang pidana, saat ini banyak pelaku usaha memilih untuk tidak memutar lagu Indonesia.
"Kalau ini diributkan terus, dampaknya domino. Masyarakat bisa enggan mendengar lagu lokal, musisi Indonesia akhirnya kehilangan kepercayaan," kata Dafaa kepada wartawan, Sabtu (16/8).
Dafaa mengkritik langkah LMKN yang dianggap hanya menyasar tempat-tempat ramai atau besar. Dafaa bahkan menilai beban pelaku usaha semakin berat dengan adanya kewajiban membayar royalti yang sangat tergesa gesa tanpa ada transparansi ini.
"Kita sudah dipajaki, bahan baku naik, pendapatan terbatas, masih harus bayar karyawan. Kalau ditambah royalti musik, gimana? Saya sebagai pengelola kafe jelas tidak sepakat," kata dia.
Ia pun menilai persoalan ini belum mendesak untuk diperhatikan dibandingkan berbagai persoalan nasional lainnya.
"Sebenarnya saya tidak terlalu peduli, karena banyak isu nasional yang lebih besar. Ini bisa dianggap sebagai pengalihan saja," katanya.
Dafaa mengaku hingga kini pihaknya belum menerima surat penarikan royalti musik. Meski demikian, ia menyebut ada 2 tempat di Malang yang sudah terdampak.
"Di kafe saya tidak ada live music, dan kami lebih sering memutar lagu luar negeri supaya lebih aman," katanya.
Dia juga menegaskan bahwa pada prinsipnya dirinya tidak akan menolak hak musisi yang telah diatur undang-undang. Asalkan, mekanisme dari royalti itu jelas dan transparan.
"Kalau transparan dari awal, ya setuju saja. Tapi kalau sekarang, kami tidak tahu sistemnya, uangnya ke mana, dari hulu ke hilir seperti apa," tegasnya
Dafaa juga mengingatkan bahwa ketidakjelasan ini bisa berdampak luas pada keberlangsungan usaha mamin, termasuk UMKM.
"Kalau sistemnya tetap tidak jelas, bisa mematikan usaha kecil seperti kafe. Pemerintah dibayar rakyat, tapi kok malah bikin rakyat sengsara," kata dia.
Simak Video "Video: Kata Erick Thohir soal Royalti Lagu Indonesia Raya"
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)