
Kejaksaan Agung telah memeriksa Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, Herri Swantoro, terkait perkara dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi timah, impor gula, dan vonis lepas CPO.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan Herri diperiksa karena penyidik ingin mendalami administrasi penanganan perkara yang ada di Pengadilan Tinggi Jakarta.
"Nah jadi yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi dalam kaitan dengan administrasi penanganan perkara yang ada di pengadilan tinggi," kata Harli kepada wartawan, Senin (19/5).

Harli mengatakan, administrasi penanganan perkara dimaksud adalah terkait gugatan perdata yang diajukan oleh terdakwa korporasi kasus crude palm oil (CPO), yakni Musim Mas Group.
Putusan gugatan perdata itu dijadikan sebagai dasar hakim untuk memvonis lepas perkara korupsi CPO.

"Nah oleh karenanya Penyidik tentu melihat sejauh mana tahapan penanganan dari perkara perdata dimaksud. Ternyata dari data yang ada bahwa perkara perdata itu sudah dalam tahap banding. Nah tahap banding kan tentu di pengadilan tinggi," ungkap Harli.
"Oleh karenanya, maka penyidik merasa perlu sesuai kebutuhan penyidikannya untuk memeriksa yang bersangkutan. Karena dalam kaitan dengan administrasi perkara yang ada di pengadilan tinggi," jelasnya.
Belum ada pernyataan dari Herri mengenai pemeriksaannya tersebut.
Kasus Perintangan Penyidikan

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka. Mereka ialah eks Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar; advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih; serta Ketua Cyber Army, M. Adhiya Muzakki.
Marcella dan Junaedi disebut bersekongkol dengan Tian serta Adhiya untuk menggiring opini publik agar citra Kejagung menjadi negatif. Hal ini dinilai telah mengganggu konsentrasi penyidik dalam mengusut perkara.

Marcella dan Junaedi disebut bersekongkol dengan Tian serta Adhiya untuk menggiring opini publik agar citra Kejagung menjadi negatif. Hal ini dinilai telah mengganggu konsentrasi penyidik dalam mengusut perkara.
Tian diduga menyebarkan pemberitaan negatif melalui JakTV. Dia diduga mendapat bayaran dari Marcella dan Junaedi sebesar Rp 478,5 juta.
Sementara Adhiya menyebarkan opini negatif tentang Kejagung dengan mengerahkan 150 orang buzzer. Total ada Rp 864,5 juta yang telah diterima Adhiya terkait aksinya itu.