Darurat Kesehatan Mental di Kalangan Gen Z dan Gen Alpha

1 week ago 5
Jakarta -

Pemerintah mulai melakukan cek kesehatan gratis (CKG) pada usia sekolah sejak Senin (8/5/2025). Bagi siswa-siswi di bangku sekolah dasar, para orangtua yang diarahkan mengisi kuesioner terkait kesehatan mental anak, untuk kemudian dianalisis oleh psikolog dan mendapatkan pendampingan lebih lanjut bila terindikasi masalah tertentu.

Sementara bagi para siswa-siswi di SMP dan SMA, kuesioner diperbolehkan diisi secara mandiri, untuk kemudian mendapatkan pendampingan serupa. Hal ini salah satunya berangkat dari temuan Survei Kesehatan Indonesia (2023) yang mencatat kelompok dengan insiden depresi terbanyak adalah anak muda berusia 15 hingga 24 tahun.

Depresi menjadi penyebab utama disabilitas pada remaja, kebanyakan dari gangguan psikologis yang mereka alami tidak disadari dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Survei mengenai kesehatan mental pada remaja di Indonesia 2022 misalnya, mendapati 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental. Sebanyak 1 persen remaja depresi, 3,7 persen cemas, post traumatic syndrome disorder (SPTSD) 0,9 persen dan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) sebanyak 0,5 persen.

Tingginya proporsi depresi pada kelompok anak muda atau dikenal sebagai gen Z atau generasi strawberi, memerlukan perhatian. Beberapa determinan yang
terkait depresi yaitu jenis kelamin, status pendidikan, status bekerja, status ekonomi, dan tempat tinggal.

Selain karakteristik, dinilai juga proporsi anak muda yang dalam 1 bulan terakhir mempunyai pemikiran untuk mengakhiri hidup.

Bahkan, proporsi anak muda dengan gangguan depresi yang pernah berpikir untuk mengakhiri hidup dalam 1 bulan terakhir yang didapatkan dalam SKI 2023 sangat tinggi yaitu 36 kali lebih besar dibandingkan yang tidak depresi pernah berpikir untuk mengakhiri hidup.

"Walaupun prevalensi depresi pada gen Z tertinggi, namun kelompok ini adalah yang paling sedikit dalam mengakses pengobatan. Gen Z yang tidak mendapatkan penanganan yang baik akan mengakibatkan permasalahan sosial yang tinggi di antaranya adalah penyakit yang menjadi semakin parah, bunuh diri, penggunaan zat-zat terlarang, dan lain sebagainya," demikian laporan Fact Sheet SKI 2023.

DKI Jakarta menjadi salah satu kasus dengan laporan masalah mental remaja yang relatif tinggi.

Pemegang program jiwa Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur Asri Hendrasari, SST, menjelaskan kebanyakan remaja yang mengalami masalah mental adalah siswa-siswi SMP dan SMA.

Hal ini ditemukan melalui skrining yang dilakukan secara menyeluruh. Mirisnya, banyak anak yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtua.

"Jadi beberapa informasi dari sekolah bahkan, anak-anak jarang sekali mengobrol dengan orangtua-nya. Jadi dalam seminggu mereka cuma bisa berkomunikasi sekitar 30 menit, selebihnya anak-anak dan orangtua sibuk dengan gadget masing-masing," beber dia kepada detikcom, Sabtu (1/8/2025).

Menyoal hal ini, Asri mengingatkan banyak sisi negatif dan positif dari penggunaan gadget bila tidak dibatasi. Orangtua sebenarnya perlu memberikan pendampingan agar anak bisa mendapatkan 'ruang aman' untuk bercerita.

Masalah Mental Picu Masalah Fisik

Dari temuan catatan pemeriksaan kesehatan di poli puskesmas, juga ditemukan banyak anak remaja mengalami gejala fisik merasa seperti sakit kepala, batuk dan pilek, yang belakangan diketahui terindikasi gangguan mental.

"Lalu kami arahkan ke psikolog. Sering sekali tenaga medis mendapatkan keluhan 'curcol' permasalahan remaja dari efek samping penggunaan gadget berlebihan, mengganggu konsentrasi dan belajar. Karena misalnya di pagi hari, efeknya sudah ngantuk-ngantuk," sorotnya dalam webinar Healthy Me Fest 2025.

Polemik kedua adalah korban bullying. Para guru sebenarnya sudah dibekali dengan langkah preventif untuk mencegah bullying di lingkup sekolah, tetapi hal ini tidak bisa dihindari saat si anak masih belum mendapatkan edukasi maksimal.

"Jadi ini harus terus dilakukan pembinaan, terkait dengan status bullying, dan solusinya kita juga membuka opsi siswa-siswi menjadi mata-mata untuk teman sebayanya," jelasnya.

Sehingga mereka melapor bila menemukan kasus seperti itu untuk langsung disampaikan kepada guru, karena banyak sekali grup-grup organisasi tersembunyi, yang kebanyakan bentuknya adalah negatif, terkait dengan bullying," catatan dia.

"Di sini yang sering menjadi pelaku dan terkena dampaknya Gen Z, gen Alpha," pungkasnya.

(naf/kna)


Read Entire Article