Judul tulisan di atas saya buat berdasarkan pertanyaan yang sampai ke saya, dan pertanyaan yang viral, "ada babi kenapa bisa keluar sertifikat halal?"
Kekecewaan konsumen muslim yang peduli halal tentunya bisa dimaklumi. Ke mana lagi konsumen Muslim akan me-refer jaminan produk halal atas produk produk yang beredar jika tidak pada logo halal yang melekat pada kemasan produk?
Produk yang mengandung babi, tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal. Itu suatu kepastian. Namun produk yang memiliki sertifikat halal, maka jaminan produk halal tidak otomatis melekat, apalagi seumur hidup. Sertifikat halal dan Jaminan Produk Halal adalah dua frasa yang bisa berbeda maknanya.
Sertifikat halal akan memberikan jaminan produk halal ketika semua kriteria persyaratan halal yang diacu dipenuhi. Namun jika kriteria persyaratan halal diabaikan maka dapat dipastikan jaminan produk halal tidak hadir. Singkat kata, Sertifikat Halal bukan sekedar selembar kertas pemanis tapi menjadi pemakna untuk hadirnya komitmen pelaku usaha dan pihak berkepentingan untuk menjaga amanah yang tertulis dalam sertifikat halal tersebut.
Di Indonesia kriteria pemenuhan jaminan produk halal melalui sertifikasi halal dinamakan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) berdasarkan ketentuan Kepkaban No.20 tahun 2023. Selain itu berbagai regulasi yang menyertai untuk jalannya Jaminan Produk Halal (JPH) bisa efektif.
Beberapa poin, kecuali poin terkait mekanisme uji laboratorium yang perlu dicermati untuk perbaikan proses sertifikasi halal dan system pengawasan disampaikan pada tulisan ini.
Skema Sertifikasi Halal Indonesia
Pasca UU Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia, maka sertifikasi halal ada dua skema, yaitu skema regular dan self declare (SD). Pada skema regular ada 3 entitas yang melaksanakan prosesnya yaitu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), BPJPH dan Komisi Fatwa MUI; sementara pada skema SD ada LP3H (Lembaga Pendampingan Proses Produk Halal) , P3H (Pendamping Proses Produk Halal) serta komite fatwa yang ada di bawah kementrian agama.
Ruang lingkup SD untuk pelaku usaha mikroyaitu produk yang teknologi dan tingkat kekritisan dari segi kehalalannya rendah.
Dalam konteks kasus ditemukannya DNA babi pada sembilan produk, maka produk tersebut dihasilkan dari proses sertifikasi halal regular, dan dilakukan oleh LPH Utama yang memiliki ruang lingkup terkait.
Kami akan fokus membahas beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian untuk perbaikan. Pembagian tugas dari tiga entitas pelaku pemeriksaan halal diatas BPJPH melakukan verifikasi data awal untuk menetapkan Biaya Layanan Umum (BLU), LPH melakukan proses audit sesuai dengan ruang lingkupnya dan Komisi Fatwa MUI melakukan penetapan fatwa berdasarkan laporan hasil audit yang disampaikan oleh LPH.
LPH melakukan proses audit pihak ketiga atau audit eksternal untuk memastikan bahwa lima kriteria SJPH diimplementasikan oleh pelaku usaha sesuai dengan proses bisnis dan ruang lingkup produk yang dihasilkan. Komitmen dan tanggung jawab manajemen merupakan kriteria SJPH yang menjadi jantung bagi pelaku usaha untuk menerapkan SJPH dengan baik, menyiapkan tim yang mengelola penerapan SJPH yang tepercaya.
Selain tim manajemen halal yang kredibel, keberadaan Penyelia Halal (PH) menjadi satu factor yang krusial. Mengapa? Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada penyelia dari system manajemen mana pun yang tugas dan tanggung jawabnya di atur dalam regulasi kecuali Penyelia Halal.
Persyaratan dan tugas Penyelia Halal terdapat di UU JPH, PMA No.26/2019, PP No.42 tahun 2024. Beberapa tugas Penyelia Halal adalah:
Tanggungjawab Penyelia Halal berdasarkan regulasi pelaksanaan halal adalah:
Karenanya sebelum LPH melakukan proses audit ke pelaku usaha, maka harus dipastikan bahwa pelaku usaha sudah melakukan audit internal serta memastikan bahwa semua aktivitas kritis terkendali , tercatat serta diawasi oleh penyelia halal.